HAKIKAT MAKNA AMANAH DAN
IMPLEMENTASINYA
Merujuk
kepada ayat-ayat Al-Quran diatas, menurut pandangan penulis pada hakikatnya
kata amanah mengandung makna sebagai berikut:
1. Amanah
dalam arti tanggungjawab personal manusia kepada Alloh.Alasan penolakan alam (bumi, langit
dan sebagainya) terhadap amanah (QS. Al-Ahzab: 72) adalah karena mereka tidak
memiliki potensi kebebasan seperti manusia. Padahal untuk menjalankan amanah
diperlukan kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab. Oleh sebab itu,
apapun yang dilakukan bumi, langit, gunung terhadap manusia, walaupun sampai
menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tetap saja "benda-benda
alam" itu tidak dapat diminta pertanggungjawabannya oleh Allah. Berbeda
dengan manusia. Apapun yang dilakukannya tetap dituntut pertanggungjawaban. Manusia adalah
khalifah fi al-ardh, oleh karena itu manusia memiliki beban (tugas) untuk
memakmurkan bumi (wasta’marakum alardh). Sebuah tugas yang maha berat, karena
menuntut kesungguhan dan keseriusan kita dalam menjalankannya.
Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan.
Jadi perbedaan manusia dari makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal, sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri. Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai dengan amalnya.
Bahkan tugas ini jauh lebih berat dari melaksanakan ibadah. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai seorang muslim, hidup tidak sekedar menjalankan ibadah mahdzoh saja, lalu kita merasa nyaman. Hidup sesungguhnya adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kebaikan.
Jadi perbedaan manusia dari makhluk lain adalah karena manusia telah diberi potensi kebebasan dan akal, sehingga dengan potensi itu manusia mampu mengenal Rabbnya sendiri, mampu menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri. Semua yang dilakukan manusia adalah pilihannya sendiri, dengan mempergunakan semua potensi dalam dirinya, sehingga manusia akan memikul akibat dari pilihannya itu, dan balasan untuknya sesuai dengan amalnya.
2. Amanah
dalam arti tanggung jawab sosial manusia kepada sesama.Dalam pandangan Islam
setiap orang adalah pemimpin, baik itu pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat maupun yang lainnya. Sebab, manusia adalah makhluk sosial dan
mempunyai tanggung jawab sosial pula. Tentu saja semua itu akan dimintai
pertanggungjawaban. Rasulullah SAW bersabda:
''Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.'' (H.R. Muslim). Fenomena yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyak sekali orang yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam akan hancurnya sebuah bangsa. “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).Amanah menempati posisi 'strategis' dalam syariat Islam. Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin (yang bisa dipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat". (Hadist Sohih).Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya:Barangsiapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli daripadanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).Dengan demikian, meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.
Pertanyaannya, Mengapa harus menjaga amanah?
''Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.'' (H.R. Muslim). Fenomena yang terjadi saat ini adalah seringkali amanah dijadikan sebuah komoditi untuk meraih kekuasaan atau materi (dunia). Sehingga saat ini banyak sekali orang yang meminta amanah kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapabilitas untuk menjalankan amanah itu. Rasulullah mengancam akan hancurnya sebuah bangsa. “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (H.R. Bukhari).Amanah menempati posisi 'strategis' dalam syariat Islam. Rasulullah saw sendiri mendapat gelar Al Amin (yang bisa dipercaya). Amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum munafik. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah:
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, dia dusta; apabila berjanji, dia ingkari; dan apabila dipercaya (amanah), dia berkhianat". (Hadist Sohih).Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memperingatkan umat Islam agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) dalam hadits yang artinya:Barangsiapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli daripadanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman”. (H.R. al-Hakim).Dengan demikian, meminta jabatan (amanah) sebagai pemimpin merupakan perbuatan yang dicela. Amanah akan menjadi penyesalan di akhirat kelak. Betapa tidak, jika seorang yang mendapat amanah tidak menjalankan dengan baik, mengingkari janjinya dan menipu saudaranya maka ia diharamkan masuk surga. Rasulullah mengancam pemimpin yang menghianati dan menyelewengkan amanah yang telah di bebankan kepadanya dengan ancaman berat.
Pertanyaannya, Mengapa harus menjaga amanah?
Pertanyaan
di atas adalah pertanyaan yang di tujukan untuk diri kita masing-masing, dan
tentu saja jawabannya sangat bervariatif. Menurut pengalaman penulis, ada
beberapa alasan mengapa seseorang harus menjaga amanah di antaranya adalah
karena amanah adalah sesuatu yang sebenarnya sudah melekat dalam fithrah
manusia. Dengan demikian sebenarnya sifat amanah adalah sifat yang sudah
melekat dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan. Hal tersebut sebagaimana
dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 172:“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi
saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)"Pada hakikatnya, jiwa dan diri kita, sejak
dari awal kodratnya, telah dikondisikan untuk beragama tauhid.
Dari sinilah lahir konsep dan keyakinan bahwa
setiap bayi yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah. Karena setiap anak
terlahir dalam keadaan suci maka dia bersifat hanif, artinya selalu cenderung
kepada kesucian dan kebaikan. Dia dilengkapi hati nurani sebagai pusat kedirian
kita. Artinya bahwa nilai nilai kesucian (fitrah) yang sebenarnya merupakan
nilai-nilai ilahiah itu sudah melekat atau (built in) dalam diri kita sejak
dahulu sebelum kita dilahirkan. Akan tetapi
kenyataannya, karena beberapa hal yang di alami oleh manusia, sikap amanah itu
menjadi hilang dan terabaikan. Contohnya adalah ketika manusia dalam keadaan
tertekan dalam hal ekonomi, manusia bisa melakukan sesuatu yang bisa melanggar
amanah yang ada padanya. Karena tergoda oleh sesuatu, manusiapun bisa
kehilangan kontrol, sehingga fitrah amanah itu menjadi hilang.